A.
HUKUM PERDATA
Hukum perdata adalah
segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan Perorangan dan
hubungan antara subyek hukum. Menurut Pasal 1, Hukum Perdata merupakan hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan
yang satu dengan yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan
masyarakat. Hukum Perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai
lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur tentang hal-hal yang
berkaitan dengan negara serta kepentingan umum. Misal politik dan pemilu (hukum tatanegara), kegiatan
pemerintah sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan
(hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antar penduduk atau warga
negara sehari-hari. Seperti kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya.
B. UNSUR-UNSUR HUKUM PERDATA
Dalam hukum
perdata, terdapat beberapa unsur yaitu :
1)
Peraturan hukum
Peraturan hukum adalah rangkaian ketentuan mengenai ketertiban. Peraturan
meliputi tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum perdata tidak tertulis
adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak
tertulis, seperti hukum kebiasaan. Sedangkan sumber hukum perdata tertulis
yaitu:
a.
Algemene Bepalingen van
Wetgeving (AB) merupakan
ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di
Indonesia (Stbl. 1847 No. 23, tanggal 30 April 1847, terdiri atas 36 pasal
b.
KUH Perdata
atau Burgelijk Wetboek (BW) merupakan ketentuan hukum produk
Hindia Belanda yang diundangkan tahun 1848, diberlakukan di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi
c.
KUHD atau Wetboek van Koopandhel (WvK):KUHD terdiri atas 754
pasal, meliputi buku I (tentang dagang secara umum) dan Buku II (tentang
hak-hak dan kewajiban yang timbul dalam pelayaran.
d.
Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. UU ini mencabut berlakunya Buku II KUH
Perdata sepanjang mengenai hak atas tanah, kecuali hipotek. Secara umum dalam
UU ini diatur mengenai hukum pertanahan yang berlandaskan pada hukum adat,
yaitu hukum yang menjadi karakter bangsa Indonesia sendiri.
e.
Undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan. UU ini membuat
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Buku I KUH Perdata, khususnya mengenai
perkawinan tidak berlaku secara penuh.
f.
Undang-undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah. UU ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana diatur
dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai
Credieverband dalam Stbl. 1908-542 sebagaimana telah diubah dalam Stbl.
1937-190. Tujuan pencabutan ketentuan yang tercantum dalam Buku II KUH Perdata
dan Stbl. 1937-190 adalah karena tidak sesuai lagi dengan kegiatan kebutuhan
perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia.
g.
Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Ada 3 pertimbangan lahirnya UU ini
a.
Adanya kebutuhan
yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana,
perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang
mengatur mengenai lembaga jaminan.
b.
Jaminan fidusia
sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada
yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara
lengkap dan komprehensif.
c.
Untuk memenuhi
kebutuhan hukum yang lebih dapat memacu serta mampu memberikan perlindungan
hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibuat ketentuan yang lengkap
mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada kantor
pendaftaran fiduasia.
h.
Undang-undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan (LPS). UU ini mengatur hubungan
hukum publik dan mengatur hubungan hukum perdata
i.
Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI mengatur tiga hal,
yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Ketentuan dalam
KHI hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
2)
Hubungan Hukum
Hubungan
hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum. Hubungan yang diatur oleh hukum
itu adalah hak dan kewajiban pribadi yang satu terhadap pribadi lain dalam
hidup bermasyarakat.
3)
Orang(persoon)
Orang(persoon)
adalah subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan
kewajiban ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi dan
badan hukum mungkin warga negara Indonesia dan mungkin juga warga negara asing.
Manusia menurut pengertian hukum
terdiri dari tiga pengertian:
1.
Mens, yaitu manusia dalam pengertian biologis yang
mempunyai anggota tubuh, kepala, tangan, kaki dan sebagainya.
2.
Person, yaitu manusia dalam pengertian yurisdis, baik
sebagai individu/pribadi maupun sebagi makhluk yang melakukan hubungan hukum
dalam masyarakat.
3.
Rehts Subject (Subjek Hukum), yaitu manusia dalam
hubungan dengan hubungan hukum (rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung
hak dan kewajiban. Pada azasnya manusia (naturalijk persoon) merupakan subjek
hukum
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari empat bagian, yaitu:
1. Buku I : berisi tentang Orang
2. Buku II : berisi tentang Kebendaan
3. Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian
4. Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa
Namun dalam makalah ini, akan dibahas Buku I KUH Perdata tentang orang yang lebih spesifik lagi tentang hukum perorangan atau pribadi
1. Buku I : berisi tentang Orang
2. Buku II : berisi tentang Kebendaan
3. Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian
4. Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa
Namun dalam makalah ini, akan dibahas Buku I KUH Perdata tentang orang yang lebih spesifik lagi tentang hukum perorangan atau pribadi
C. HUKUM
PERORANGAN (HUKUM PRIBADI)
1)
Pengertian Hukum Perorangan
Hukum orang
dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit.
Hukum (tentang) orang dalam arti
luas :
Hukum orang adalah hukum yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang
diri manusia sebagi subyek dalam hukum, peraturan perihal kecakapan untuk
memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu
serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
Hukum (tentang) orang dalam arti
sempit :
Hukum yang
mengatur tentang orang sebagai subjek hukum.
Dari pengertian di atas merujuk
hukum orang dari aspek ruang lingkupnya, yang meliputi peraturan tentang
manusia, subjek hukum, kecakapan hukum, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
D. ASPEK-ASPEK
HUKUM PERORANGAN
Hukum
Perorangan adalah yang memuat kaidah-kaidah hukum yang mengatur Orang (pribadi)
dalam hukum disebut sebagai subjek hukum, subjek hukum artinya setiap pendukung
hak dan kewajiban.
1) Subjek Hukum
Didalam buku
I KUH Perdata yang disebut subjek hukum ialah hanya orang yang disebut pribadi
kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut dengan pribadi hukum. Namun
dalam perkembangan selanjutnya badan hukum tidak dimasukkan menjadi subjek
hukum yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang, sehingga subjek hukum
itu meliputi :
1. Orang disebut pribadi kodrati
2. Badan hukum disebut pribadi hukum
Orang
sebagai subjek hukum mulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun ada
pengecualian yaitu sebagai perluasan yang diatur dalam pasal 2 KUH perdata yang
mengatakan : “bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya dianggap telah
dilahirkan hidup apabila ada kepentingan bayi itu yang menghendaki”. Jadi
walaupun anak itu belum lahir dapat dianggap sebagai subjek hukum. Terhadap
asas ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Anak telah
dibenihkan pada saat timbul kepentingan anak.
2. Anak
dilahirkan hidup pada saat dilahirkan walaupun sekejap dan meninggal.
3. Ada
kepentingan anak yang menghendaki bahwa anak dianggap telah lahir.
Pengakuan Sebagai Subyek Hukum
Manusia sebagai subjek hukum,
pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak manusia itu lahir, dan berakhir setelah
ia meninggal dunia. Bahkan pengakuan manusia sebagai subjek hukum dapat
dilakukan sejak manusia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan
hidup. Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata, bahwa:
“Anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah lahir, bila mana juga kepentingan si
anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah
telah ada.” [7]
Indonesia sebagai negara hukum,
mangakui manusia pribadi sebagai subyek hukum, pendukung hak dan kewajiban. Di
dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa:[8]
“Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Selain subyek hukum dikenal juga
objek hukum, sebagai lawan dari subyek hukum. Objek hukum adalah benda yang
tidak mempunyai hak dan kewajiban dan berguna bagi subyek hukum yang mana
djadikan pokok hubungan hukum oleh subyek hukum. Yang menjadi objek hukum
adalah ialah benda dan barang.
Badan hukum adalah subyek hukum
dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan
ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia
pribadi. Secara prinspil badan hukum berbeda dengan Manusia pribadi. Perbedaan
tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Manusia
pribadi adalah mahluk hidup cipataan Tuhan kehendak,mempunyai akal, perasaan,
kehendak, dan dapat mati.Sedangkan badan hukum adalah badan ciptaan manusia
pribadi berdasarkan hukum, dapat dibudarkan oleh pembentukannya.
2. Manusia
pribadi mempunyai kelamin, sehingga ia dapat beranak. Sedangkan, badan hukum
tidak.
3. Manusia
pribadi dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak
Badan hukum dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam yaitu :
1.
Badan hukum publik (kenegaraan), yaitu badan hukum
yang dibentuk oleh pemerintah, diberi wewenang menurut hukum publik, misalnya
departemen, Pemerintahan, propinsi, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR,
Mahkamah Agung R.I. dan sebagainya.
2.
Badan hukum privat (keperadatan), yaitu badan hukum
yang dibentuk oleh pemerintah atau swasta,diberi wewenang menurut hukum
perdata. Badan hukum keperadatan ini mempunyai bermacam ragam tujuan keperadatan.
Menurut
ketentuan pasal 1653 KUHPerdata ada tiga macam klasifikasi badan hukum
berdasarkan eksistensinya, yaitu :
1.
Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa),
seperti badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan negara.
2.
Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa),
seperti perseroan terbatas, koperasi.
3.
Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan
tertentu yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan,
dan lain-lain
Syarat-syarat
Pembentukan Badan Hukum
Dalam hukum
perdata tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat- syarat
material pembentukan badan hukum. Yang ada adalah syarat formal, yaitu harus
dengan akta notaris. Karena tidak ada ketentun demikian, maka menurut Prof.
Meyers (1948) doktrin ilmu hukum menetapkan syarat-syarat itu adalah :
1. Ada harta
kekayaan sendiri
2. Ada tujuan
tertentu
3. Ada
kepentingan sendiri
4. Ada
organisasi yang teratur
2)
Cakap Hukum dan Kewenangan
Menurut hukum manusia pribadi ( natuurlijk person ) mempunyai hak dan
kewajiban, akan tetapi tidak selalu cakap hukum ( rechtsbekwaam ) untuk
melakukan perbuatan hukum. Tidak cakap melakukan perbuatan
hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian, yaitu :
1.
Orang-orang yang belum dewasa (belum
mencapai 21 tahun)
2.
Orang yang ditaruh dibawah
pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa pemabuk atau pemboros
3.
Kurang cerdas
4.
Sakit ingatan
5.
Orang wanita dalam perkawinan yang
berstatus sebagai istri
6.
Badan hukum (Rechts Person)
3) Catatan Sipil
Catatan
sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan,
serta pembukuan yang selengkap-lengkapnyadan sejelas-jelasnya serta memberi
memberi kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran,
pengakuan, perkawinan, dan kematian. Jadi dari pengertian diatas terdapat 4
registrasi catatan sipil, yaitu:
1.
Kelahiran
2.
Pengakuan
3.
Perkawinan
4.
Pernikahan
Sedangkan berdasarkan pasal 4 KUHPerdata
terdapat enam jenis registrasi catatan sipil, yaitu:
1.
Kelahiran
2.
pemberitahuan kawin
3.
izin kawin
4.
perkawinan
5.
perceraian dan
6.
kematian
1) Jenis-jenis Catatan Sipil
Berdasarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 1983 tentang Organisasi dan Tata Kerja
kantor Catatan Sipil Kabupaten / Kota Madya, ada lima jenis akta catatan sipil,
yaitu:
1.
Akta Kelahiran: akta yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta ini
bermanfaat untuk memudahkan pembuktian dalam hal kewarisan, persyaratan untuk
diterima di lembaga pendidikan dan persyaratan bagi seseorang untuk masuk
sebagai pegawai negeri.
2.
Akta Perkawinan: akta yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenan, yang berkaitan dengan adanya perkawinan. Pejabat yang
berwenang mengeluarkan akta perkawinan meliputi:
a. Kepala KUA
bagi yang beragama Islam.
b. Kepala
Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Islam.
3.
Akta Perceraian: akta yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang setelah adanya putusan pengadilan. Pejabat yang berwenang
untuk menerbitkan akta perceraian bagi yang beragama Islam adalah panitera
pengadilan agama atas nama ketua pengadilan, dan bagi orang non-Islam adalah
kantor Catatan Sipil.
4.
Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak: akta yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan pengakuan dan
pengesahan terhadap anak luar kawin.
5.
Akta Kematian: akta yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang, yang berkaitan dengan meninggalnya seseorang.
Adapun
tujuan dari Lembaga Catatan Sipil adalah:[20]
1.
Agar setiap warga masyarakat dapat
memiliki bukti-bukti otentik.
2.
Memperlancar aktifitas pemerintah di
bidang kependudukan.
3.
Memberikan kepastian hukum bagi
kedudukan hukum setiap warga masyarakat, misalnya kelahiran, perkawinan,
perceraian, pengakuan, kematian dan lainnya.
4)
Tempat Kediaman (Domisili)
Setiap orang maupun badan hukum
menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang jelas keberadaannya
yang dapat dicari, tempat tersebut yang disebut domisili. Dalam pengetian
yuridis, tempat tinggal (domisili) adalah tempat seseorang harus dianggap
selalu hadir dalam hubungannya dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban,
juga pada suatu waktu ia benar-benar tidak dapat hadir ditempat tersebut.
Tempat
tinggal sangat diperlukan untuk beberapa hal, misalnya: di mana seseorang harus
berkeluarga, dimana seseorang harus dipanggil dan ditarik di muka hakim.
Pengadilan mana yang berkuasa terhadap seseorang dan sebagainya. Biasanya orang
mempunyai tempat tinggal di tempat kediaman pokok. Tetapi bagi orang yang
tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, tempat tinggalnya dianggap berada di
tempat ia benar-benar berada.
Sebagai
contoh, seorang warga Inggris, bertempat tinggal di Negara A, dan melangsungkan
pernikahan dengan warga negara Inggris lain yang bertempat tinggal di negara B.
Karena mereka berkewarganegaraan yang sama sebetulnya tidak menimbulkan
permasalahan karena kewarganegaraan. Tapi karena tempat tinggal mereka berbeda
timbul permasalah. Karena misalnya untuk orang Inggris itu ada ketentuan dalam
HPI Inggris, kalau sudah bertempat tinggal di suatu negara, ia dianggap oleh
HPI Inggris tunduk pada hukum perkawinan dari negeri tempat tinggalnya yang
baru.
Macam-macam
Tempat Tinggal (Domisili)
Domisili
dapat dibedakan menurut sistem hukum yang yang mengaturnya, yaitu
menurut Common Law dan hukum Eropa Continental.
Dalam Common Law tempat
tinggal dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
(1) Domisili of origin, yaitu tempat tinggal
seseorang ditentukan oleh tempat asal seseorang sebagai tempat kelahiran ayahnya
yang sah
(2). Domicili of origin of dependence, yaitu
tempat tinggal yang ditentukan oleh tempat tinggal ayah bagi anak yang belum
dewasa, tempat tinggal ibu bagi anak yang belum sah, dan bagi istri ditentukan
oleh tempat tinggal suaminya
(3) Domicili of choice, yaitu tempat tinggal
yang ditentukan oleh pilihan seseorang yang telah dewasa, di samping tindak
tanduk sehari-hari.
Adapun menurut hukum Eropa
Kontinental, termasuk juga KUH Perdata dan NBW (BW baru) negeri Belanda, tempat
tinggal dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1)Tempat tinggal sesungguhnya, yaitu tempat melakukan
perbuatan hukum pada umumnya, baik itu tempat tinggal mandiri maupun tempat
tinggal wajib
(2)Tempat tinggal yang dipilih, yaitu apabila ada dua
orang yang mengadakan suatu perjanjian (perdagangan) dengan memilih tempat
tinggal di kantor seorang notaris atau kantor Kepaniteraan Pengadilan
Domisili yang sesungguhnya adalah tempat melakukan perbuatan hukum yang
sesungguhnya. Domisili yang sesungguhnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.
Domisili sukarela atau yang berdiri
sendiri adalah tempat kediaman yang tidak bergantung/ ditentukan oleh
hubungannya dengan orang lain.
2.
Domisili yang wajib, yaitu tempat
kediaman yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara seseorang dengan orang
lain. Misalnya, antara istri dengan suaminya, antara anak dengan walinya, dan
antara curatele dengan curator-nya (pengampunya).
Mengenai domisili sesungguhnya diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23
KUH Perdata, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Pasal 20: Domisili pegawai.
2.
Pasal 21: Domisili Istri, Anak di
bawah umur, dan curatele.
3.
Pasal 22: Domisili Buruh.
4.
Pasal 23: Tempat kediaman orang
meninggal.[18]
E. KUH PERDATA BUKU I TENTANG HUKUM
ORANG
Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek
hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris. KUHPerdata Buku I
memuat sebagai berikut :
1. Bab I - Tentang menikmati dan
kehilangan hak-hak kewargaan
2. Bab II - Tentang akta-akta catatan
sipil
3. Bab III - Tentang tempat tinggal
atau domisili
4. Bab IV - Tentang perkawinan
5. Bab V - Tentang hak dan kewajiban
suami-istri
6. Bab VI - Tentang harta-bersama
menurut undang-undang dan pengurusannya
7. Bab VII - Tentang perjanjian kawin
8. Bab VIII - Tentang gabungan
harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
9. Bab IX - Tentang pemisahan
harta-benda
10. Bab X - Tentang pembubaran
perkawinan
11. Bab XI - Tentang pisah meja dan
ranjang
12. Bab XII - Tentang keayahan dan asal
keturunan anak-anak
13. Bab XIII - Tentang kekeluargaan
sedarah dan semenda
14. Bab XIV - Tentang kekuasaan orang
tua
15. Bab XIVA - Tentang penentuan,
perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
16. Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan
perwalian
17. Bab XVI - Tentang pendewasaan
18. Bab XVII - Tentang pengampuan
19.
Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar