Kamis, 16 Februari 2017

KUH PERDATA BUKU I TENTANG HUKUM ORANG

A.    HUKUM  PERDATA
Hukum perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan Perorangan dan hubungan antara subyek hukum. Menurut Pasal 1, Hukum Perdata merupakan hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu dengan yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Hukum Perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum. Misal politik dan  pemilu (hukum tatanegara), kegiatan pemerintah sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antar penduduk atau warga negara sehari-hari. Seperti kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

B.     UNSUR-UNSUR HUKUM PERDATA
Dalam hukum perdata, terdapat beberapa unsur yaitu :
1)      Peraturan hukum
Peraturan hukum adalah rangkaian ketentuan mengenai ketertiban. Peraturan meliputi tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti hukum kebiasaan. Sedangkan sumber hukum perdata tertulis yaitu:
a.       Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) merupakan ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia (Stbl. 1847 No. 23, tanggal 30 April 1847, terdiri atas 36 pasal
b.      KUH Perdata atau Burgelijk Wetboek (BW) merupakan ketentuan hukum produk Hindia Belanda yang diundangkan tahun 1848, diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi
c.       KUHD atau Wetboek van Koopandhel (WvK):KUHD terdiri atas 754 pasal, meliputi buku I (tentang dagang secara umum) dan Buku II (tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dalam pelayaran.
d.      Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. UU ini mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai hak atas tanah, kecuali hipotek. Secara umum dalam UU ini diatur mengenai hukum pertanahan yang berlandaskan pada hukum adat, yaitu hukum yang menjadi karakter bangsa Indonesia sendiri.
e.       Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan. UU ini membuat ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Buku I KUH Perdata, khususnya mengenai perkawinan tidak berlaku secara penuh.
f.       Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. UU ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai Credieverband dalam Stbl. 1908-542 sebagaimana telah diubah dalam Stbl. 1937-190. Tujuan pencabutan ketentuan yang tercantum dalam Buku II KUH Perdata dan Stbl. 1937-190 adalah karena tidak sesuai lagi dengan kegiatan kebutuhan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia.
g.      Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Ada 3 pertimbangan lahirnya UU ini
a.       Adanya kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan.
b.      Jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif.
c.       Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang lebih dapat memacu serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibuat ketentuan yang lengkap mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada kantor pendaftaran fiduasia.
h.      Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan (LPS). UU ini mengatur hubungan hukum publik dan mengatur hubungan hukum perdata
i.        Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI mengatur tiga hal, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Ketentuan dalam KHI hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.

2)       Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum. Hubungan yang diatur oleh hukum itu adalah hak dan kewajiban pribadi yang satu terhadap pribadi lain dalam hidup bermasyarakat.

3)      Orang(persoon)
Orang(persoon) adalah subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi dan badan hukum mungkin warga negara Indonesia dan mungkin juga warga negara asing.

Manusia menurut pengertian hukum terdiri dari tiga pengertian:
1.      Mens, yaitu manusia dalam pengertian biologis yang mempunyai anggota tubuh, kepala, tangan, kaki dan sebagainya.
2.      Person, yaitu manusia dalam pengertian yurisdis, baik sebagai individu/pribadi maupun sebagi makhluk yang melakukan hubungan hukum dalam masyarakat.
3.      Rehts Subject (Subjek Hukum), yaitu manusia dalam hubungan dengan hubungan hukum (rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pada azasnya manusia (naturalijk persoon) merupakan subjek hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari empat bagian, yaitu:
1. Buku I   : berisi tentang Orang
2. Buku II  : berisi tentang Kebendaan
3. Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian
4. Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa
Namun dalam makalah ini, akan dibahas Buku I KUH Perdata tentang orang yang lebih spesifik lagi tentang hukum perorangan atau pribadi
C.    HUKUM PERORANGAN (HUKUM PRIBADI)

1)      Pengertian Hukum Perorangan
Hukum orang dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit.

Hukum (tentang) orang dalam arti luas :
Hukum orang adalah hukum yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang diri manusia sebagi subyek dalam hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
Hukum (tentang) orang dalam arti sempit :
Hukum yang mengatur tentang orang sebagai subjek hukum.

Dari pengertian di atas merujuk hukum orang dari aspek ruang lingkupnya, yang meliputi peraturan tentang manusia, subjek hukum, kecakapan hukum, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

D.    ASPEK-ASPEK HUKUM PERORANGAN

Hukum Perorangan adalah yang memuat kaidah-kaidah hukum yang mengatur Orang (pribadi) dalam hukum disebut sebagai subjek hukum, subjek hukum artinya setiap pendukung hak dan kewajiban.

1)      Subjek Hukum
Didalam buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum ialah hanya orang yang disebut pribadi kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut dengan pribadi hukum. Namun dalam perkembangan selanjutnya badan hukum tidak dimasukkan menjadi subjek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang, sehingga subjek hukum itu meliputi :
1.   Orang disebut pribadi kodrati
2.   Badan hukum disebut pribadi hukum

Orang sebagai subjek hukum mulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun ada pengecualian yaitu sebagai perluasan yang diatur dalam pasal 2 KUH perdata yang mengatakan : “bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup apabila ada kepentingan bayi itu yang menghendaki”. Jadi walaupun anak itu belum lahir dapat dianggap sebagai subjek hukum. Terhadap asas ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Anak telah dibenihkan pada saat timbul kepentingan anak.
2.      Anak dilahirkan hidup pada saat dilahirkan walaupun sekejap dan meninggal.
3.      Ada kepentingan anak yang menghendaki bahwa anak dianggap telah lahir.

Pengakuan Sebagai Subyek Hukum
Manusia sebagai subjek hukum, pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak manusia itu lahir, dan berakhir setelah ia meninggal dunia. Bahkan pengakuan manusia sebagai subjek hukum dapat dilakukan sejak manusia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan hidup. Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata, bahwa:

“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah lahir, bila mana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.”      [7]

Indonesia sebagai negara hukum, mangakui manusia pribadi sebagai subyek hukum, pendukung hak dan kewajiban. Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa:[8]

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Selain subyek hukum dikenal juga objek hukum, sebagai lawan dari subyek hukum. Objek hukum adalah benda yang tidak mempunyai hak dan kewajiban dan berguna bagi subyek hukum yang mana djadikan pokok hubungan hukum oleh subyek hukum. Yang menjadi objek hukum adalah ialah benda dan barang.

Badan hukum adalah subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia pribadi. Secara prinspil badan hukum berbeda dengan Manusia pribadi. Perbedaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.       Manusia pribadi adalah mahluk hidup cipataan Tuhan kehendak,mempunyai akal, perasaan, kehendak, dan dapat mati.Sedangkan badan hukum adalah badan ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, dapat dibudarkan oleh pembentukannya.
2.       Manusia pribadi mempunyai kelamin, sehingga ia dapat beranak. Sedangkan, badan hukum tidak.
3.       Manusia pribadi dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak

Badan hukum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu :
1.       Badan hukum publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, diberi wewenang menurut hukum publik, misalnya departemen, Pemerintahan, propinsi, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, Mahkamah Agung R.I. dan sebagainya.
2.       Badan hukum privat (keperadatan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah atau swasta,diberi wewenang menurut hukum perdata. Badan hukum keperadatan ini mempunyai bermacam ragam tujuan keperadatan.

Menurut ketentuan pasal 1653 KUHPerdata ada tiga macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu :
1.       Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa), seperti badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan negara.
2.       Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa), seperti perseroan terbatas, koperasi.
3.       Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lain

Syarat-syarat Pembentukan Badan Hukum
Dalam hukum perdata tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-  syarat material pembentukan badan hukum. Yang ada adalah syarat formal, yaitu harus dengan akta notaris. Karena tidak ada ketentun demikian, maka menurut Prof. Meyers (1948) doktrin ilmu hukum menetapkan syarat-syarat itu adalah :
1.       Ada harta kekayaan sendiri
2.       Ada tujuan tertentu
3.       Ada kepentingan sendiri
4.       Ada organisasi yang teratur

2)      Cakap Hukum dan Kewenangan
Menurut hukum manusia pribadi ( natuurlijk person ) mempunyai hak dan kewajiban, akan tetapi tidak selalu cakap hukum ( rechtsbekwaam ) untuk melakukan perbuatan hukum. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu :
1.      Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai 21 tahun)
2.      Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa pemabuk atau pemboros
3.      Kurang cerdas
4.      Sakit ingatan
5.      Orang wanita dalam perkawinan yang berstatus sebagai istri
6.      Badan hukum (Rechts Person)

3)      Catatan  Sipil
Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan, serta pembukuan yang selengkap-lengkapnyadan sejelas-jelasnya serta memberi memberi kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan kematian. Jadi dari pengertian diatas terdapat 4 registrasi catatan sipil, yaitu:
1.      Kelahiran
2.      Pengakuan
3.      Perkawinan
4.      Pernikahan

Sedangkan berdasarkan pasal 4 KUHPerdata terdapat enam jenis registrasi catatan sipil, yaitu:
1.      Kelahiran
2.      pemberitahuan kawin
3.      izin kawin
4.      perkawinan
5.      perceraian dan
6.      kematian

1)                                                                                     Jenis-jenis Catatan Sipil
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 1983 tentang Organisasi dan Tata Kerja kantor Catatan Sipil Kabupaten / Kota Madya, ada lima jenis akta catatan sipil, yaitu:
1.       Akta Kelahiran: akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta ini bermanfaat untuk memudahkan pembuktian dalam hal kewarisan, persyaratan untuk diterima di lembaga pendidikan dan persyaratan bagi seseorang untuk masuk sebagai pegawai negeri.
2.       Akta Perkawinan: akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenan, yang berkaitan dengan adanya perkawinan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan akta perkawinan meliputi:
a.       Kepala KUA bagi yang beragama Islam.
b.       Kepala Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Islam.
3.       Akta Perceraian: akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang setelah adanya putusan pengadilan. Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan akta perceraian bagi yang beragama Islam adalah panitera pengadilan agama atas nama ketua pengadilan, dan bagi orang non-Islam adalah kantor Catatan Sipil.
4.       Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak: akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan pengakuan dan pengesahan terhadap anak luar kawin.
5.      Akta Kematian: akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan meninggalnya seseorang.

Adapun tujuan dari Lembaga Catatan Sipil adalah:[20]
1.      Agar setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik.
2.      Memperlancar aktifitas pemerintah di bidang kependudukan.
3.      Memberikan kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap warga masyarakat, misalnya kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan, kematian dan lainnya.




4)      Tempat Kediaman (Domisili)
Setiap orang maupun badan hukum menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang jelas keberadaannya yang dapat dicari, tempat tersebut yang disebut domisili. Dalam pengetian yuridis, tempat tinggal (domisili) adalah tempat seseorang harus dianggap selalu hadir dalam hubungannya dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban, juga pada suatu waktu ia benar-benar tidak dapat hadir ditempat tersebut.
Tempat tinggal sangat diperlukan untuk beberapa hal, misalnya: di mana seseorang harus berkeluarga, dimana seseorang harus dipanggil dan ditarik di muka hakim. Pengadilan mana yang berkuasa terhadap seseorang dan sebagainya. Biasanya orang mempunyai tempat tinggal di tempat kediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, tempat tinggalnya dianggap berada di tempat ia benar-benar berada.
Sebagai contoh, seorang warga Inggris, bertempat tinggal di Negara A, dan melangsungkan pernikahan dengan warga negara Inggris lain yang bertempat tinggal di negara B. Karena mereka berkewarganegaraan yang sama sebetulnya tidak menimbulkan permasalahan karena kewarganegaraan. Tapi karena tempat tinggal mereka berbeda timbul permasalah. Karena misalnya untuk orang Inggris itu ada ketentuan dalam HPI Inggris, kalau sudah bertempat tinggal di suatu negara, ia dianggap oleh HPI Inggris tunduk pada hukum perkawinan dari negeri tempat tinggalnya yang baru.

Macam-macam Tempat Tinggal (Domisili)
Domisili dapat dibedakan menurut sistem hukum yang yang mengaturnya, yaitu menurut Common Law dan hukum Eropa Continental.
Dalam Common Law tempat tinggal dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
(1) Domisili of origin, yaitu tempat tinggal seseorang ditentukan oleh tempat asal seseorang sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah
(2). Domicili of origin of dependence, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh tempat tinggal ayah bagi anak yang belum dewasa, tempat tinggal ibu bagi anak yang belum sah, dan bagi istri ditentukan oleh tempat tinggal suaminya
(3) Domicili of choice, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh pilihan seseorang yang telah dewasa, di samping tindak tanduk sehari-hari.

Adapun menurut hukum Eropa Kontinental, termasuk juga KUH Perdata dan NBW (BW baru) negeri Belanda, tempat tinggal dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1)Tempat tinggal sesungguhnya, yaitu tempat melakukan perbuatan hukum pada umumnya, baik itu tempat tinggal mandiri maupun tempat tinggal wajib
(2)Tempat tinggal yang dipilih, yaitu apabila ada dua orang yang mengadakan suatu perjanjian (perdagangan) dengan memilih tempat tinggal di kantor seorang notaris atau kantor Kepaniteraan Pengadilan

Domisili yang sesungguhnya adalah tempat melakukan perbuatan hukum yang sesungguhnya. Domisili yang sesungguhnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Domisili sukarela atau yang berdiri sendiri adalah tempat kediaman yang tidak bergantung/ ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain.
2.      Domisili yang wajib, yaitu tempat kediaman yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain. Misalnya, antara istri dengan suaminya, antara anak dengan walinya, dan antara curatele dengan curator-nya (pengampunya).

Mengenai domisili sesungguhnya diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 KUH Perdata, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Pasal 20: Domisili pegawai.
2.      Pasal 21: Domisili Istri, Anak di bawah umur, dan curatele.
3.      Pasal 22: Domisili Buruh.
4.      Pasal 23: Tempat kediaman orang meninggal.[18]



E.     KUH PERDATA BUKU I TENTANG HUKUM ORANG

Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris. KUHPerdata Buku I memuat sebagai berikut :
1.     Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
2.     Bab II - Tentang akta-akta catatan sipil
3.     Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili
4.     Bab IV - Tentang perkawinan
5.     Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
6.     Bab VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
7.     Bab VII - Tentang perjanjian kawin
8.     Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
9.     Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
10.  Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
11.  Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang
12.  Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
13.  Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
14.  Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua
15.  Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
16.  Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
17.  Bab XVI - Tentang pendewasaan
18.  Bab XVII - Tentang pengampuan

19.  Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar